Cerpen "KADO SYAHADAT DI AKHIR HAYAT"

KADO SYAHADAT DI AKHIR HAYAT

Karya : Elsa Agustiani

Aku tak lagi mempedulikan segala peraturan atau hukuman apa yang nantinya akan kuterima, yang ada di fikiranku sekarang adalah bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini. Aku memandang pagar yang menjulang tinggi di hadapan. Di setiap ujungnya terdapat kawat besi tajam yang telah memakan banyak korban. Jika aku memanjat, tentu akan memakan waktu yang cukup lama. Mengingat bahaya dan durasi waktu yang singkat—sebelum Ustaz Furqon menyadari aku tak berada di mesjid untuk mengaji kitab kuning kemudian mencariku ke sini—aku memaksa memutar otak.
Aku memandang tepat ke arah parit di bawah pagar, tempat dulu aku biasa memancing ikan bersama santri-santri lainnya ketika ada waktu luang. Dulu, parit itu adalah saluran untuk membuang air dari kamar mandi asrama menuju sungai terdekat. Tapi sekarang, semenjak asrama dipindahkan ke sebelah selatan pondok pesantren ini, parit itu tidak terpakai lagi. Karena belakangan ini sedang musim kemarau, tanah di bawahnya pun menjadi kering.
“Huffshhh!” dengusku membuang nafas kasar. Pikir punya pikir akhirnya aku memutuskan untuk kabur lewat parit itu. Meskipun agak licin dan berbau, kubulatkan tekad agar kemerdekaanku terselamatkan. Bersamaan dengan aku yang mulai melompat ke bawah, aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku dengan lantang.
"ILHAM, MAU KEMANA KAMU? JANGAN KAABBURRR … !" Aku menoleh ke belakang, Ustaz Furqon sedang berjalan menuju ke sini. Aku merutuki diriku sendiri dalam hati namun tekad terlanjur bulat kayak bola bekel. Tubuhku pun mantul menggeliat cepat tanpa peduli kotor dan bau pesing kucing yang sering buang hajat di parit ini. Aku merunduk ke dasar parit, kemudian setelah melewati pagar lalu naik lagi ke atas dan lari lintang pukang tanpa peduli sarungku yang kedodoran dan akhirnya melorot jatuh ke tanah lapang, sesaat dadaku berdentam senang mencium aroma kebebasan. Kudengar sayup-sayup suara ustaz Furqon berteriak.
MENGUKIR SEJARAH. Yach, untuk pertama kalinya, aku—yang dikatakan orang sebagai santri paling rajin di pesantren—kabur lewat parit yang berada di pagar belakang asrama. Sangat tidak keren sama sekali.
***

"Ferdi … hhhh apakahhh … kamu ada di dalam?" suaraku parau dengan sisa nafas satu-satu yang tersengal. Untuk kesekian kalinya aku memanggil dan mengetuk pintu, namun tak ada orang yang menyahut. Dengan tidak sabaran, aku mencoba masuk kedalam rumah yang memang tidak dikunci.
Aku memandang ke sekeliling ruangan, terlalu kosong untuk disebut sebagai rumah yang berpenghuni. Hanya terdapat kursi dan meja kecil disudut ruangan, yang di atasnya terdapat foto keluarga serta lambang salib yang mulai rapuh termakan usia.
"Ferdi, apa kamu ada di sini?" aku masih mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, ketika aku mendengar ada suara benda terjatuh dari arah ruangan sebelah kanan. Dengan terburu-buru aku masuk kedalam ruangan itu yang kuyakini adalah kamar Ferdi.
Tak lama kemudian Ferdi masuk ke dalam kamar dengan handuk yang masih ia lilitkan di pinggang. Sepertinya dia baru saja selesai mandi, terlihat dari rambutnya yang masih basah. Dia menatap ke arahku, terlihat terkejut namun tak lama kemudian dia tersenyum hangat dan mempercepat langkahnya.
"Aku tak percaya jika ternyata kamu masih sudi menemuiku." Ia menatap ke arahku. Meskipun tersenyum, terlihat jelas jika matanya masih mengisyaratkan kesedihan yang mendalam.
"Aku toh sudah berjanji menolongmu, akan kuceritakan nanti bagaimana caranya. Sembari aku mendengarkan ceritamu juga." jawabku membalas senyumannya.
"Nanti? kapan?"
"Tentu saja ketika kamu sudah ganti baju. Bergegaslah, aku tunggu di luar." ucapku seraya berdiri, lalu pergi ke luar kamar.
Kemarin lusa, aku mendapat kabar dari temanku bahwa nenek Ferdi meninggal dunia. Tentu saja aku ikut sedih mendengarnya. Biar begitu banyak jurang perbedaan di antara kami, aku tetap menganggapnya saudara. Kepergian nenek Ferdi juga membuatku tersadar bahwa ia kini hidup sebatangkara. Ibunya meninggal dunia saat dia lahir dan ayahnya pergi jauh entah kemana. Mengingat sekarang dia tak lagi punya siapa-siapa, aku merasa khawatir dan memutuskan untuk pergi menemui dia secepatnya. Namun, karena di pesantren sedang ujian semester, tentu saja aku tidak mendapatkan izin untuk pulang. Apalagi tanpa adanya orangtuaku yang datang menjemput. Jadi dengan terpaksa, aku memutuskan untuk kabur. Oh Ustaz, maafkan aku yang kali ini melawan aturan!
Setelah rapi dengan kaos merah berlambang Manchester United, Ferdi pun bergabung denganku di ruang tamu. Sambil menikmati pemandangan di luar jendela yang memilukan, di mana ilalang tinggi tak sempat ditebas rapi. Ferdi menyuguhiku secangkir kopi tumbuk peninggalan nenek yang sudah diseduhnya tanpa gula, dia tak punya gula sama sekali.  Namun kopi itu kuhirup perlahan dengan nikmat, aromanya memikat. Ferdi pun mulai bercerita, tentang semua luka, duka, dan sedikit tawa yang pernah bermuara pada keputusan yang sempat terlintas di benaknya, untuk mengakhiri hidupnya.

***

Pada saat matahari hendak menidurkan dirinya di ufuk barat, aku sedang berada di ruangan Ustaz Furqon untuk mendengarkan segala ceramah dan hukuman yang akan dia berikan.
Tentu saja dia marah karena kejadian kabur kemarin dan yang lebih membuat dia lebih marah adalah karena aku membawa serta Ferdi pulang kesini, ke pesantren ini.
"Saya mohon Ustaz, Ustaz boleh menghukum saya apapun asalkan Ustaz mengizinkan teman saya untuk ikut tinggal disini. Dia hanya hidup sebatangkara Ustaz, dia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi disini. Bukankah Ustaz sendiri yang selalu mengingatkan saya untuk saling membantu sesama?"
Ustaz Furqon hanya membuang nafas kasar, lalu melirik sekilas ke arah Ferdi yang duduk tepat di sampingku. Dia menatap Ferdi dengan penuh iba. Namun Ferdi hanya terdiam menunduk tanpa berani menatap ke depan.
"Ya, kamu benar Ilham. Namun seperti yang kamu ketahui, ini adalah pesantren. Tempat menimba ilmu santri-santri yang beragama islam. Apa yang dikatakan orang jika kita menerima seorang murid yang berbeda agama dengan kita? Kita memang harus membantu sesama manusia, namun jika itu menyangkut urusan akidah, keyakinan kita, tentu saja tidak bisa." Terjadi keheningan beberapa saat.
"Jika begitu, saya siap untuk masuk Islam Ustaz. Melihat keyakinan Ustaz dan kebaikan Ilham selama ini, saya yakin, jika Islam adalah agama yang baik. Sebenarnya sudah dari dulu saya ingin menjadi mualaf, namun saya tak tega dengan nenek saya yang sudah sakit-sakitan karena terlalu banyak menanggung beban selama hidupnya. Saya takut keputusan saya akan membuat dia semakin terluka." jelas Ferdi sambil menitikan air mata.
Aku yang sedari tadi berkernyit tegang menjadi kaget dengan keputusan Ferdi. Apakah keputusan itu ia ucapkan karena merasa tiada pilhan lain?
“Fer … jangan main-main kau soal agama. Jangan lantas karena hanya ingin tinggal di sini kau mau masuk Islam.” tegurku memelototinya.
“Aku serius lho … tepatnya semanjak bersahabat denganmu Ilham. Kau yang sering menerobos pagar untuk menemaniku membantu nenek di ladang. Kau yang peduli saat aku sakit. Kau juga orang pertama yang meyambangiku saat tahu nenekku meninggal dunia sementara keluarga besarku nun jauh di seberang pulau sana belum juga bisa menengok. Ketahuilah Ilham, darimu aku merasakan Islam yang lembut dan penuh perhatian dan dari Ustaz aku melihat Islam yang tegas namun toleran.”
 Belum ada reaksi apapun dari Ustaz Furqon, dia hanya diam memperhatikan dan memberi kesempatan kepada Ferdi untuk melanjutkan ceritanya.
"Saya mohon, jadikanlah saya seorang muslim, dan terima saya sebagai murid Ustaz untuk menuntut ilmu di pesantren ini."  Mendengar keyakinan dari setiap kata-kata Ferdi, Ustaz Furqon tersenyum.
"Apakah kamu yakin atas semua perkataanmu barusan, Nak?" tanya Ustaz Furqon meyakinkan.
"Saya yakin, Pak—maksud saya Ustaz. Saya yakin, seyakin-yakinnya. Dan jujur, seumur hidup, baru kali ini saya sangat yakin terhadap apa yang telah saya katakan."
Ustaz Furqon terlihat berkaca-kaca, sambil menghela nafas ia tertunduk dalam. Ia mendekati Ferdi, dan duduk di sebelahnya. Sambil mendengar kalimat syahadat yang di contohkan oleh Ustaz Furqon, air mata Ferdi tak henti-hentinya menetes membasahi kedua tangannya.
“Ikuti kalimat syahadat yang Ustaz ucapkan ya, Nak.”
"Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah." Sesaat setelah Ferdi berhasil membaca kalimat itu, ia menatap mataku dengan lekat disertai senyum yang mengembang indah di bibirnya.
Sungguh bahagia yang tak terhingga. Kami menangis dengan penuh haru bahagia. Sekarang, dia sudah menjadi seorang muslim. Allah telah memberi dia hidayah yang luar biasa. Ternyata benar, tidak ada nikmat yang lebih besar daripada nikmat iman dan Islam.

***

Tepat pukul setengah tiga pagi, Ferdi selalu membangunkanku. Sudah hampir tiga tahun Ferdi menghabiskan waktu di pesantren ini dengan penuh semangat. Keinginantahuan ia akan Islam yang sangat besar dan kemauan belajar yang tinggi menjadikan lebih semangat dan lebih rajin dari santri-santri yang lainnya. Apalagi pada saat Ramadhan seperti ini, dia jauh lebih rajin belajar tadarus daripada aku, hmmm … jadi malu sendiri. Setiap jam tiga dini hari kami bersama-sama pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian ke dapur, mengantre makanan untuk sahur. Setelah selesai sahur, kami bergegas menuju masjid untuk mengerjakan shalat subuh berjamaah, dilanjutkan dengan mengaji kitab; kitab tafsir, kitab shorof, kitab nahwu dan kitab jumairah.
Selesai mengaji kitab, kami berangkat ke sekolah yang ada di pesantren. Hari ini adalah hari istimewa bagi Ferdi, karena hari ini ia berulang tahun. Tepat pada hari ini juga pesantren mengadakan majelis ilmu yang akan mengundang para jamaah dan ustaz dari luar pesantren. Ferdi dan aku ditugaskan menjadi panitia dalam acara ini. Ba'da sholat ashar, kami telah selesai mempersiapkan semuanya.
Kami sedang duduk di kursi belakang panggung, saat ada seorang ustaz datang dan tersenyum melambai kepada Ferdi agar duduk di dekatnya. Seingatku, ia adalah salah satu ustaz yang akan mengisi acara pada malam ini. Dengan sopan Ferdi menghampiri ustaz tersebut.
"Mohon maaf, Ustaz. Ada yang bisa ana bantu?" tanya Ferdi sambil tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang nampak kontras dengan wajah sawo matang yang kian bersinar itu.
Tidak biasanya seorang ustaz yang akan mengisi acara hadir pada jam seperti ini, mengingat acara baru akan dimulai ba'da isya nanti. Di sana Ferdi terlihat sedang berbincang-bincang sambil duduk di kursi bersama dengan ustaz tersebut, sesekali juga mereka saling tersenyum dan tertawa layaknya sahabat lama. Namun tak berselang lama, ekspresi Ferdi yang dari tadi bahagia seketika berubah.
"Maksud Ustaz? Maaf, ana tidak mengerti." mendengar suara Ferdi yang sedikit bergetar, aku pun memutuskan untuk menghampirinya. Aku khawatir kata-kata ustaz itu membuat Ferdi tersinggung.
"Kamu mungkin memang tidak akan percaya, Nak. Tapi sungguh, aku adalah ayahmu." Jawaban Ustaz tersebut sontak saja membuatku kaget.  Kulihat-lihat memang perawakan keduanya mirip, terutama rambut ikal dan warna kulitnya yang gelap.
"Ta ... tapi bagaimana mungkin, ayah saya adalah seorang nasrani, bukan muslim apalagi seorang Ustaz seperti anda. Lagipula ia sudah pergi meninggalkan saya sejak saya lahir." Ferdi tersendak serak dan hampir menangis.
Aku melihat mata Ferdi yang berkaca-kaca, mencoba menahan air matanya agar tidak keluar.
"Maafkan ayahmu ini, Nak. Ayah tau selama ini ayah salah karena sudah pergi meninggalkanmu. Namun saat itu ayah memang tidak bisa pergi untuk membawamu. Saat itu ayah sangat frustrasi karena kematian ibumu, sehingga kaupun diasuh oleh nenekmu. Nenekmu tak memperkenankan Ayah untuk membawamu, mengingat keadaan  ayah yang saat itu sangatlah kacau. Ayah pergi berkelana seorang diri tanpa tujuan seperti orang hilang akal, hingga suatu saat Allah mempertemukan ayah dengan seorang alim ulama yang mampu menyadarkan ayah. Dengan sabar dia membimbing dan mendidik, hingga ayah masuk Islam dan menjadi seorang Ustaz seperti sekarang."
Ferdi memandangku dengan tatapan yang tidak kumengerti. Aku melihat Ustaz tersebut memeluknya. Namun dengan perlahan, Ferdi melepaskan pelukannya.
"Sebelumnya, saya mohon maaf Ustaz. Tapi jika benar Ustaz ini adalah ayah saya, mengapa selama ini Ustaz tidak mencari saya? Dan lagipula, bukti apakah yang membuat saya harus percaya bahwa Ustaz adalah ayah saya? Jujur... Saya bingung, saya tidak mengerti."
Ustaz  yang belakangan kukatahui bernama Frederik Ihsan tersebut diam bergeming.
"Nak..." ucap ustaz tersebut dengan suara yang parau. "Selama ini ayah mencarimu. Berusaha menemukan keberadaanmu. Namun ketika ayah berhasil mendapatkan alamat rumah nenekmu yang baru, kalian sudah tidak ada di sana. Ayah sangat menyesal karena tidak sempat meminta maaf kepada nenekmu di akhir hayatnya. Ayah mencoba bertanya kepada tetangga di mana keberadaanmu dan mereka memberitahukan bahwa kau dibawa temanmu yang berasal dari pesantren. Ayah tak tahu pesantren mana yang dimaksud, dan mereka juga tidak tahu." ucap Ustaz Frederik Ihsan menitikan air mata.
"Namun Ayah berusaha untuk mencarimu. Karena ayah tak tahu bagaimana persis wajahmu, tetangga itu memberikan kepada ayah foto ini. Untuk membantu ayah agar lebih  mudah mencarimu." Ustaz tersebut mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya, dan ketika aku melihat, ternyata itu adalah sebuah foto masa kecil Ferdi. Foto dirinya dan neneknya yang sedang tersenyum bahagia. “Tentu Ayah berpikir lagi bahwa pesantren itu pastilah yang terdekat dari rumah nenek sehingga begitu ada undangan Ustaz Furqon untuk mengunjungi pesantren “Asmaul Husna” ini hati Ayah langsung yakin bahwa akan bertemu kamu di sini, Nak”
Suaranya merendah dan terbatuk, pundak kami berdua direngkuhnya hangat, jemarinya terasa kasar pertanda beliau seorang pekerja keras. Ustaz Frederik Ihsan melanjutkan ceritanya.
“Tujuh belas tahun lamanya Ayah meninggalkanmu. Ayah takut jika kamu tidak mau memaafkan ayah. Maka dari itu ayah menunggu waktu yang tepat untuk menemuimu, dan ayah rasa ramadhan inilah waktunya. Ayah sadar, banyak sekali kesalahan yang telah Ayah perbuat kepada kalian. Sekali lagi, maafkan Ayah Nak..Maafkan ayah.." Ustaz Frederik terisak, di balik penampilannya yang kekar dan tegar ternyata hatinya sangat lembut. Ferdipun mulai menangis dan tanpa disangka tiba-tiba Ferdi memeluk ayahnya. Mereka berdua berpelukan dengan sangat erat, menumpahkan rindu dan kasih sayang yang selama ini terpendam begitu dalam.
Aku yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa tersenyum bahagia sambil turut menitikkan air mata teringat akan ayah dan bundaku sendiri yang jauh di kampung kalimantan. Akhirnya, setelah sekian lama Ferdi bisa bertemu dengan ayahnya. Allah memang sutradara terbaik yang penuh dengan skenario tak terduga didalamnya. Ferdi melepas pelukannya, dan memandang ke arahku sembari tersenyum bahagia.
Namun baru beberapa langkah aku berjalan, aku merasakan tanah tempatku berpijak bergetar dengan getaran yang sangat hebat yang sontak membuatku terjatuh. Orang-orang di sekitarku mulai berteriak dan menjerit. Suasana tiba-tiba menjadi mencekam. Semua orang berlarian menyelamatkan diri masing-masing, menuju ke tempat yang lapang ketika tiang-tiang penyangga besi dari panggung hendak berjatuhan, lampu-lampu yang bergantung pecah dan menimbulkan kepanikan karena tetiba ada konslet listrik di ruang tengah. Jamaah berlarian lintang pukang. Aku tak tahu lagi di mana Ferdi ketika aku turut lari menyelamatkan diri dan lantas terjatuh.
Melihatku terjatuh, Ferdi berlari dengan cepat ke arahku.
"Kamu gapapa?" tanyanya panik.
"Gempa bumi..." gumamku ketakutan.
"Ayo, kita pergi dari sini. Di sini bahaya." Ferdi mencoba membantuku berdiri ketika sebuah tiang dari belakang terjatuh hendak menimpa tubuh kami.
"FERDI AWAS!" terdengar suara orang yang berteriak dari belakang, disusul dengan terdorongnya badanku yang terjatuh kesebelah kanan. Aku tak bisa bergerak, kakiku tertimpa sesuatu yang rasanya sangat berat. Ketika aku memalingkan wajah ke sebelah kanan, kulihat besi penyangga itu terjatuh menimpa seseorang.
Aku melihat ayah Ferdi dengan luka berdarah yang terus keluar. Ujung penyangga besi itu menimpa sebagian dari tubuhnya. Padahal baru saja tubuh tinggi besar itu mendorong Ferdi kuat-kuat agar agar terhindar dari runtuhan tiang marmer itu. Ferdi serta merta terisak sambil menggumamkan sesuatu ke telinga ayahnya yang sudah tak berdaya. Sayup-sayup aku mendengar suara ayah Ferdi yang tersengal-sengal karena menahan rasa sakit.
"Asyhadu.. A-alla ilaha.. Ill.. Lallah.. Waasy-hadu.. An.. Na.. Muhammadar.. Rasulullah." Bersamaan dengan itu, perlahan Ferdi mengusap wajah ayahnya dengan air mata yang masih membasahi wajahnya yang pucat. Baru saja ia bertemu dengan ayahnya dan sekarang ia harus kembali ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Namun kematian ayah Ferdi adalah salah satu bukti, sebagai cinta orang tua kepada anaknya. Ia rela mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan anaknya.
Aku melihat darah mulai mengalir dari bawah kakiku, rasa sakit kembali menguasai diri ini. Di akhir kesadaranku, aku bersyukur kepada Allah karena telah dipertemukan dengan orang sekuat Ferdi. Dari dia, aku banyak belajar tentang indahnya buah dari kesabaran. Kehadiran Ferdi di hidupku juga telah memberiku banyak pelajaran, mengingatkanku untuk selalu bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah berikan.
Aku ingin berdiri memanggil Ferdi, untuk sekedar mengucapkan terima kasih, menguatkan serta menghibur hatinya. Namun aku sendiri tak bisa bergerak dan tenggorokanku terasa tercekat. Bersamaan dengan itu aku merasakan kepalaku pusing berkunang-kunang, dan kemudian semuanya berubah menjadi gelap.

[]


BIODATA PENULIS

Elsa Agustiani, biasa disapa Elsa, Potter, atau Econg.  Anak pertama dari dua bersaudara yang lahir di Sumedang, 14 Agustus 2001. Sangat mencintai kasur, novel, hujan, dan susu coklat dalam satu paket. Juga mencintai keluarga, Anime,  serta sesuatu yang berwarna biru.  Memiliki impian besar menjadi penulis  novel fantasy seperti J.K Rowling, Rick Riordan, dan James Dashner, tapi tetap bercita-cita menjadi seorang Jaksa. Sedang bersekolah di MAN 2 Kutai Kartanegara yang berarti, tinggal jauh dari orangtua, sehingga aku mempunyai hobi baru, yaitu merindukan ibu. Selalu dikenal dengan tampang datar, dingin, dan cuek oleh orang-orang sekitar. Tapi selalu tertawa dan merasa bahagia bahkan gila, bersama orang-orang terdekat serta keluarga.

Say hello to my instagram @elsagustiani_
Or Facebook : EL
WA : 0895700378153

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer